Penulis : Imam Addaruqutni
Masjid sebagai sentral kehidupan umat Islam harusnya dijadikan penggerak roda kehidupan. Mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, hingga politik, semuanya bisa dimulai dari masjid. Sangat disayangkan, ramainya jamaah yang shalat ke masjid kemudian dibiarkan pulang ke r
umah masing-masing tanpa bisa diberdayakan oleh pengurus masjid.
Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruqutni mengatakan, masjid adalah sumber daya paling potensial yang dimiliki umat Islam. Bayangkan saja, jamaah datang dari berbagai unsur dan latar belakang, mereka mau bekerja dengan ikhlas untuk masjid dan masjid mempunyai modal awal dari infak jamaah untuk membuka suatu unit usaha. Tinggal bagaimana cara pemberdayaannya saja.
"Mungkin masih sedikit para pengelola masjid yang punya orientasi profesional. Maksudnya, apa saja potensi yang dimiliki bisa diberdayakan semaksimal mungkin. Walaupun mereka cuma punya dana Rp 1 juta, jika diberdayakan, uang tersebut bisa berkembang," jelas Imam. Jadi, pengurus masjid tidak hanya menunggu dan mengumpulkan infak dari jamaah. Tetapi, dana yang sudah ada bisa dikembangkan dengan unit-unit usaha. Berikut petikan wawancara selengkapnya dengan wartawan Republika, Hannan Putra.
Apa definisi masjid mandiri yang benar?
Saya rasa, masjid-masjid di tempat kita sudah bisa dikatakan mandiri. Artinya, tidak dibangun oleh pemerintah. Kecuali masjid-masjid raya yang pembangunannya dibantu pemerintah, seperti Masjid Istiqlal serta masjid-masjid raya lainnya di berbagai daerah. Atau masjid-masjid di lingkungan instansi pemerintahan, seperti masjid istana, masjid-masjid di perkantoran milik pemerintah.
Jadi, konsep masjid mandiri yang sudah berlangsung sekarang ini, semuanya dari masyarakat. Model pembangunannya dari masyarakat, pembangunannya oleh masyarakat, manajemennya dari masyarakat, serta biaya operasionalnya juga ditanggung masyarakat. Jadi, secara umum, kebanyakan masjid di Indonesia sudah dikatakan mandiri, kecuali masjid-masjid yang disebutkan tadi.
Namun, masjid-masjid yang dibangun pemerintah sekalipun, pengelolaan dan manajemennya pun sudah mandiri. Misalkan, Masjid Istiqlal juga bisa disebut mandiri dalam pengertian pengelolaannya. Karena, keuangan masjid tidak menjadi satu kesatuan dengan administrasi negara. Contohnya, siapa yang jadi khatib, imam, dan sebagainya, itu tidak diatur negara. Hanya dalam hal tertentu negara baru terlibat, seperti segi pendanaannya.
Pengelolaan kemandirian masjid di zaman Nabi seperti apa?
Kalau di Masjid Nabawi, langsung Nabi SAW sendiri yang menjadi takmirnya. Nabi SAW sendiri tinggal satu atap dengan Masjid Nabawi yang sekarang menjadi makam Beliau. Letaknya, ada di samping raudhah yang kalau dari luar ditandai dengan kubah hijau. Jadi, masjid waktu itu langsung dikelola oleh Nabi SAW sendiri.
Demikian juga orang yang ikut mengelola masjid terbuka untuk umum. Sebagaimana mereka datang untuk shalat tanpa seleksi, demikian juga peran mereka dalam mengelola masjid. Pengelolaannya dijalankan bersama-sama. Ada yang membantu menyapu masjid, bersih-bersih, dan sebagainya. Kecuali untuk urusan yang benar-benar diperlukan keahlian, seperti imam dan muazin. Kalau imam, langsung Nabi SAW sendiri yang bertindak. Tetapi, kalau urusan lainnya, seluruh sahabat bekerja sama.
Orang-orang yang ikut mengelola Masjid Nabawi biasanya memang orang-orang yang biasa dekat dengan Nabi. Mereka datang ke masjid lebih awal, jadi mereka duduk di shaf paling depan. Demikian juga dalam mengelola masjid, mereka juga jadi yang terdepan.
Karena masjid benar-benar dijadikan sentral kehidupan umat waktu itu, orang-orang memilih tinggal di dekat masjid. Jadi, pusat perekonomian, pemerintahan, dan pendidikan semuanya berpusat di masjid. Orang-orang pun datang membangun pemondokan di sekitar masjid. Kalau kita lihat sampai sekarang, tanah termahal di dunia itu, ya tanah di kawasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Untuk pembebasan tanah karena ingin memugar masjid saja, Pemerintah Arab Saudi harus mengeluarkan ratusan miliar.
Pada zaman Nabi, ada orang-orang yang tinggal di Masjid. Tempat untuk mereka dibangunkan tsaqifah untuk menampung orang-orang yang ingin tinggal di masjid. Ketika masjid sudah difungsikan sebagai sentral kehidupan, masjid tidak hanya mandiri secara finansial, bahkan menghidupi orang-orang yang lemah finansialnya.
Apakah baik sebuah masjid memiliki lini usaha?
Sebaiknya demikian. Karena persoalan ibadah kepada Allah dan persoalan dalam kehidupan ini tak bisa dipisahkan. Dari dahulu sampai sekarang, di sekitar Masjidil Haram selalu menjadi pusat bisnis dan penggerak ekonomi umat. Hal itu juga sunah yang masih berlangsung hingga sekarang. Kalau sekarang banyak yang berjualan di samping Masjidil Haram, dari dahulu juga begitu.
Yang kita minta dalam doa itu, bahagia dan kebaikan di dunia dan akhirat. Jadi, ketika kita mengejar akhirat, dunia juga kita dapat. Jadi, masjid itu menjadi kawasan ibadah sekaligus menjadi kawasan ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan politik.
Baikkah pengurus masjid yang hanya mengandalkan kotak infak?
Kotak infak itu juga diperlukan. Dengan adanya kotak infak, orang-orang yang ingin berinfak bisa difasilitasi. Satu sisi, memang kotak infak dari keinginan pengurus masjid agar mereka bisa diringankan dalam pengelolaan masjid. Infak jamaah bisa dimanfaatkan untuk biaya operasional masjid atau pembangunan. Di sisi lain, kotak infak ini juga keinginan dari jamaah. Mereka ingin turut serta membangun masjid mereka.
Cuma, kotak infak ini jangan hanya sekadar tabungan dan ditumpuk-tumpuk di bank. Pengurus masjid hendaknya lebih bijak memanfaatkan dana infak jamaah. Selain untuk pengelolaan masjid, bisa juga dipakai untuk dana sosial, membantu kaum dhuafa, atau orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan hanya sekadar laporan saldo yang terus meningkat, tetapi yang terpenting adalah pembelanjaannya atau diistilahkan tasarruf. Termasuk di sana, penggunaan dana kas masjid untuk unit usaha.
Kalau hal ini benar-benar dilakukan, harusnya masjid di suatu daerah menjadi kawasan paling makmur. Namun, nyatanya di beberapa tempat justru kawasan masjid menjadi kawasan paling kumuh dan miskin. Karena dengan adanya modal dari infak jamaah untuk membuka unit usaha, harusnya masjid bisa mengayomi jamaah yang ada di sekelilingnya. Masjid tidak hanya membangkitkan semangat beribadah, tetapi juga membangkitkan etos kerja dan etos ekonomi.
Jenis usaha apa yang cocok dikelola masjid?
Tergantung pada masyarakatnya. Masjid hanya sekadar menginspirasi. Yang akan menjalankan adalah jamaah-jamaahnya. Ketika para masyarakat saling bertemu dalam shalat berjamaah, setelah itu mereka akan ngobrol dan membicarakan dunia mereka. Jadi, terbentuklah di sana jaringan bisnis. Mereka bisa merundingkan unit usaha apa yang akan mereka buat.
Orang yang datang shalat berjamaah ke masjid itu dari berbagai latar belakang. Ada yang ekonom, pendidik, pewirausaha, politisi, dan sebagainya. Ada yang kaya dan ada juga yang miskin. Si kaya kalau ingin membantu rekan-rekannya sesama jamaah yang masih miskin bisa membuat program-program pemberdayaan wirausaha.
Untuk langkah awal, kawasan halaman masjid mungkin bisa dimulai dari bazar atau dagangan keperluan sehari-hari. Bisa dijual di sana hasil-hasil home industri. Semakin ramai orang yang ke masjid, tentu kawasan masjid menjadi makin potensial untuk perdagangan. Bukan tidak mungkin di halaman masjid bisa orang jual mobil. Ada tenda yang dipajang di sana satu unit mobil, seperti yang dilakukan di halaman-halaman mal.
Apakah saat ini DKM masih bergantung pada infak semata?
Mungkin masih sedikit para pengelola masjid yang punya orientasi profesional. Maksudnya, apa saja potensi yang dimiliki bisa diberdayakan semaksimal mungkin. Walaupun mereka cuma punya dana Rp 1 juta, jika diberdayakan, uang tersebut bisa berkembang. Jadi, tidak hanya menunggu dan mengumpulkan infak dari jamaah. Tetapi, dana yang sudah ada bisa dikembangkan dengan unit-unit usaha.
Ini perlu juga menjadi perhatian bagi pemerintah. Bagaimana pengurus-pengurus masjid dari berbagai dewan kemakmuran masjid (DKM) bisa mendapatkan pelatihan kewirausahaan dari pemerintah. Mereka punya orang-orang yang siap berjuang lillahi ta'ala tanpa digaji, siap bersungguh-sungguh, dan mereka paling tidak sudah ada modal dari infak jamaah. Mereka sangat potensial jika bisa memberdayakan masjid-masjid di lingkungan mereka berada.
Kalau etos profesionalnya sudah terbina, orang-orang yang duduk di DKM itu juga bisa menyejahterakan diri dan keluarganya masing-masing. Profesioal maksudnya cara pengelolaan masjid dengan unit-unit usahanya bisa dimaksimalkan. Pengurus DKM itu sebenarnya tak perlu mencari nafkah di masjid karena mereka sudah punya penghasilan sendiri yang memadai.
Apa yang dikembangkan DMI soal kemandirian masjid? Hasilnya?
Alhamdulillah, DMI sudah melihat kemandirian masjid sudah berjalan dan sudah bisa mengelola masjid-masjid secara otonom. Namun, harapannya, pengurus-pengurus masjid dan DKM bisa memberdayakan masjidnya. Sebenarnya bukan hanya dari masjidnya. Kita ingin masjid itu bisa memberikan kemakmuran bagi jamaah yang shalat di sana. Kemakmuran itu akan hidup jika masjid bisa dijadikan inspirasi bagi jamaahnya. Jika mereka punya etos kerja yang baik, kemakmuran itu akan datang bagi jamaah masjidnya.
Hal yang dilakukan DMI sekarang ini sudah mulai mengarah ke sana. DMI memberikan modal usaha bergulir bagi usaha mikro yang ingin dijalankan oleh pengurus masjid atau jamaah masjid. Tetapi, memang kita perhatikan, usaha yang dijalankan benar-benar mikro sehingga butuh suntikan dana. Alhamdulillah, ini sudah dilakukan DMI.
Namun, perlu dipahami, DMI bukanlah lembaga pemerintahan masjid. DMI hanya sebagai fasilitator, dinamisator, dan katalisator. Intinya, DMI hanya sebatas mengajak dalam berbagai forum agar kita bisa menghidupkan masjid dalam artian bisa memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki jamaah. Kelemahannya sekarang, kebanyakan pengurus DKM tidak punya database jamaah. Ini susah jika ingin memberdayakan jamaah. Misalkan jamaah yang pedagang, ini bisa dikembangkan bentuk usahanya dengan bekerja sama dengan DKM masjid. Dan seterusnya.
Jadi, ini adalah langkah awal, perlunya mendata jamaah. Jika kita sudah mulai berbicara dari data, insya Allah kita bisa lebih mudah menyusun kekuatan. Misalkan, kekuatan ekonomi yang kita punya.
Hasil yang selama ini dirasakan DMI, dengan bantuan modal usaha bagi pengusaha mikro, usaha yang mereka kembangkan sudah tampak hasilnya. Bantuan yang berupa pinjaman, mereka bisa mengembalikan dana tersebut dengan profesional. Ini bentuk keberhasilan dari segi mental bagi jamaah. Di samping itu, terbentuk rasa solidaritas sesama. Orang yang telah terbantu ekonominya suatu saat nanti dia juga akan membantu orang lain.
Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/08/21/ntfd0l2-imam-addaruqutni-masjid-harus-jadi-penggerak-kehidupan
Masjid sebagai sentral kehidupan umat Islam harusnya dijadikan penggerak roda kehidupan. Mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, hingga politik, semuanya bisa dimulai dari masjid. Sangat disayangkan, ramainya jamaah yang shalat ke masjid kemudian dibiarkan pulang ke r
umah masing-masing tanpa bisa diberdayakan oleh pengurus masjid.
Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Addaruqutni mengatakan, masjid adalah sumber daya paling potensial yang dimiliki umat Islam. Bayangkan saja, jamaah datang dari berbagai unsur dan latar belakang, mereka mau bekerja dengan ikhlas untuk masjid dan masjid mempunyai modal awal dari infak jamaah untuk membuka suatu unit usaha. Tinggal bagaimana cara pemberdayaannya saja.
"Mungkin masih sedikit para pengelola masjid yang punya orientasi profesional. Maksudnya, apa saja potensi yang dimiliki bisa diberdayakan semaksimal mungkin. Walaupun mereka cuma punya dana Rp 1 juta, jika diberdayakan, uang tersebut bisa berkembang," jelas Imam. Jadi, pengurus masjid tidak hanya menunggu dan mengumpulkan infak dari jamaah. Tetapi, dana yang sudah ada bisa dikembangkan dengan unit-unit usaha. Berikut petikan wawancara selengkapnya dengan wartawan Republika, Hannan Putra.
Apa definisi masjid mandiri yang benar?
Saya rasa, masjid-masjid di tempat kita sudah bisa dikatakan mandiri. Artinya, tidak dibangun oleh pemerintah. Kecuali masjid-masjid raya yang pembangunannya dibantu pemerintah, seperti Masjid Istiqlal serta masjid-masjid raya lainnya di berbagai daerah. Atau masjid-masjid di lingkungan instansi pemerintahan, seperti masjid istana, masjid-masjid di perkantoran milik pemerintah.
Jadi, konsep masjid mandiri yang sudah berlangsung sekarang ini, semuanya dari masyarakat. Model pembangunannya dari masyarakat, pembangunannya oleh masyarakat, manajemennya dari masyarakat, serta biaya operasionalnya juga ditanggung masyarakat. Jadi, secara umum, kebanyakan masjid di Indonesia sudah dikatakan mandiri, kecuali masjid-masjid yang disebutkan tadi.
Namun, masjid-masjid yang dibangun pemerintah sekalipun, pengelolaan dan manajemennya pun sudah mandiri. Misalkan, Masjid Istiqlal juga bisa disebut mandiri dalam pengertian pengelolaannya. Karena, keuangan masjid tidak menjadi satu kesatuan dengan administrasi negara. Contohnya, siapa yang jadi khatib, imam, dan sebagainya, itu tidak diatur negara. Hanya dalam hal tertentu negara baru terlibat, seperti segi pendanaannya.
Pengelolaan kemandirian masjid di zaman Nabi seperti apa?
Kalau di Masjid Nabawi, langsung Nabi SAW sendiri yang menjadi takmirnya. Nabi SAW sendiri tinggal satu atap dengan Masjid Nabawi yang sekarang menjadi makam Beliau. Letaknya, ada di samping raudhah yang kalau dari luar ditandai dengan kubah hijau. Jadi, masjid waktu itu langsung dikelola oleh Nabi SAW sendiri.
Demikian juga orang yang ikut mengelola masjid terbuka untuk umum. Sebagaimana mereka datang untuk shalat tanpa seleksi, demikian juga peran mereka dalam mengelola masjid. Pengelolaannya dijalankan bersama-sama. Ada yang membantu menyapu masjid, bersih-bersih, dan sebagainya. Kecuali untuk urusan yang benar-benar diperlukan keahlian, seperti imam dan muazin. Kalau imam, langsung Nabi SAW sendiri yang bertindak. Tetapi, kalau urusan lainnya, seluruh sahabat bekerja sama.
Orang-orang yang ikut mengelola Masjid Nabawi biasanya memang orang-orang yang biasa dekat dengan Nabi. Mereka datang ke masjid lebih awal, jadi mereka duduk di shaf paling depan. Demikian juga dalam mengelola masjid, mereka juga jadi yang terdepan.
Karena masjid benar-benar dijadikan sentral kehidupan umat waktu itu, orang-orang memilih tinggal di dekat masjid. Jadi, pusat perekonomian, pemerintahan, dan pendidikan semuanya berpusat di masjid. Orang-orang pun datang membangun pemondokan di sekitar masjid. Kalau kita lihat sampai sekarang, tanah termahal di dunia itu, ya tanah di kawasan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Untuk pembebasan tanah karena ingin memugar masjid saja, Pemerintah Arab Saudi harus mengeluarkan ratusan miliar.
Pada zaman Nabi, ada orang-orang yang tinggal di Masjid. Tempat untuk mereka dibangunkan tsaqifah untuk menampung orang-orang yang ingin tinggal di masjid. Ketika masjid sudah difungsikan sebagai sentral kehidupan, masjid tidak hanya mandiri secara finansial, bahkan menghidupi orang-orang yang lemah finansialnya.
Apakah baik sebuah masjid memiliki lini usaha?
Sebaiknya demikian. Karena persoalan ibadah kepada Allah dan persoalan dalam kehidupan ini tak bisa dipisahkan. Dari dahulu sampai sekarang, di sekitar Masjidil Haram selalu menjadi pusat bisnis dan penggerak ekonomi umat. Hal itu juga sunah yang masih berlangsung hingga sekarang. Kalau sekarang banyak yang berjualan di samping Masjidil Haram, dari dahulu juga begitu.
Yang kita minta dalam doa itu, bahagia dan kebaikan di dunia dan akhirat. Jadi, ketika kita mengejar akhirat, dunia juga kita dapat. Jadi, masjid itu menjadi kawasan ibadah sekaligus menjadi kawasan ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan politik.
Baikkah pengurus masjid yang hanya mengandalkan kotak infak?
Kotak infak itu juga diperlukan. Dengan adanya kotak infak, orang-orang yang ingin berinfak bisa difasilitasi. Satu sisi, memang kotak infak dari keinginan pengurus masjid agar mereka bisa diringankan dalam pengelolaan masjid. Infak jamaah bisa dimanfaatkan untuk biaya operasional masjid atau pembangunan. Di sisi lain, kotak infak ini juga keinginan dari jamaah. Mereka ingin turut serta membangun masjid mereka.
Cuma, kotak infak ini jangan hanya sekadar tabungan dan ditumpuk-tumpuk di bank. Pengurus masjid hendaknya lebih bijak memanfaatkan dana infak jamaah. Selain untuk pengelolaan masjid, bisa juga dipakai untuk dana sosial, membantu kaum dhuafa, atau orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan hanya sekadar laporan saldo yang terus meningkat, tetapi yang terpenting adalah pembelanjaannya atau diistilahkan tasarruf. Termasuk di sana, penggunaan dana kas masjid untuk unit usaha.
Kalau hal ini benar-benar dilakukan, harusnya masjid di suatu daerah menjadi kawasan paling makmur. Namun, nyatanya di beberapa tempat justru kawasan masjid menjadi kawasan paling kumuh dan miskin. Karena dengan adanya modal dari infak jamaah untuk membuka unit usaha, harusnya masjid bisa mengayomi jamaah yang ada di sekelilingnya. Masjid tidak hanya membangkitkan semangat beribadah, tetapi juga membangkitkan etos kerja dan etos ekonomi.
Jenis usaha apa yang cocok dikelola masjid?
Tergantung pada masyarakatnya. Masjid hanya sekadar menginspirasi. Yang akan menjalankan adalah jamaah-jamaahnya. Ketika para masyarakat saling bertemu dalam shalat berjamaah, setelah itu mereka akan ngobrol dan membicarakan dunia mereka. Jadi, terbentuklah di sana jaringan bisnis. Mereka bisa merundingkan unit usaha apa yang akan mereka buat.
Orang yang datang shalat berjamaah ke masjid itu dari berbagai latar belakang. Ada yang ekonom, pendidik, pewirausaha, politisi, dan sebagainya. Ada yang kaya dan ada juga yang miskin. Si kaya kalau ingin membantu rekan-rekannya sesama jamaah yang masih miskin bisa membuat program-program pemberdayaan wirausaha.
Untuk langkah awal, kawasan halaman masjid mungkin bisa dimulai dari bazar atau dagangan keperluan sehari-hari. Bisa dijual di sana hasil-hasil home industri. Semakin ramai orang yang ke masjid, tentu kawasan masjid menjadi makin potensial untuk perdagangan. Bukan tidak mungkin di halaman masjid bisa orang jual mobil. Ada tenda yang dipajang di sana satu unit mobil, seperti yang dilakukan di halaman-halaman mal.
Apakah saat ini DKM masih bergantung pada infak semata?
Mungkin masih sedikit para pengelola masjid yang punya orientasi profesional. Maksudnya, apa saja potensi yang dimiliki bisa diberdayakan semaksimal mungkin. Walaupun mereka cuma punya dana Rp 1 juta, jika diberdayakan, uang tersebut bisa berkembang. Jadi, tidak hanya menunggu dan mengumpulkan infak dari jamaah. Tetapi, dana yang sudah ada bisa dikembangkan dengan unit-unit usaha.
Ini perlu juga menjadi perhatian bagi pemerintah. Bagaimana pengurus-pengurus masjid dari berbagai dewan kemakmuran masjid (DKM) bisa mendapatkan pelatihan kewirausahaan dari pemerintah. Mereka punya orang-orang yang siap berjuang lillahi ta'ala tanpa digaji, siap bersungguh-sungguh, dan mereka paling tidak sudah ada modal dari infak jamaah. Mereka sangat potensial jika bisa memberdayakan masjid-masjid di lingkungan mereka berada.
Kalau etos profesionalnya sudah terbina, orang-orang yang duduk di DKM itu juga bisa menyejahterakan diri dan keluarganya masing-masing. Profesioal maksudnya cara pengelolaan masjid dengan unit-unit usahanya bisa dimaksimalkan. Pengurus DKM itu sebenarnya tak perlu mencari nafkah di masjid karena mereka sudah punya penghasilan sendiri yang memadai.
Apa yang dikembangkan DMI soal kemandirian masjid? Hasilnya?
Alhamdulillah, DMI sudah melihat kemandirian masjid sudah berjalan dan sudah bisa mengelola masjid-masjid secara otonom. Namun, harapannya, pengurus-pengurus masjid dan DKM bisa memberdayakan masjidnya. Sebenarnya bukan hanya dari masjidnya. Kita ingin masjid itu bisa memberikan kemakmuran bagi jamaah yang shalat di sana. Kemakmuran itu akan hidup jika masjid bisa dijadikan inspirasi bagi jamaahnya. Jika mereka punya etos kerja yang baik, kemakmuran itu akan datang bagi jamaah masjidnya.
Hal yang dilakukan DMI sekarang ini sudah mulai mengarah ke sana. DMI memberikan modal usaha bergulir bagi usaha mikro yang ingin dijalankan oleh pengurus masjid atau jamaah masjid. Tetapi, memang kita perhatikan, usaha yang dijalankan benar-benar mikro sehingga butuh suntikan dana. Alhamdulillah, ini sudah dilakukan DMI.
Namun, perlu dipahami, DMI bukanlah lembaga pemerintahan masjid. DMI hanya sebagai fasilitator, dinamisator, dan katalisator. Intinya, DMI hanya sebatas mengajak dalam berbagai forum agar kita bisa menghidupkan masjid dalam artian bisa memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki jamaah. Kelemahannya sekarang, kebanyakan pengurus DKM tidak punya database jamaah. Ini susah jika ingin memberdayakan jamaah. Misalkan jamaah yang pedagang, ini bisa dikembangkan bentuk usahanya dengan bekerja sama dengan DKM masjid. Dan seterusnya.
Jadi, ini adalah langkah awal, perlunya mendata jamaah. Jika kita sudah mulai berbicara dari data, insya Allah kita bisa lebih mudah menyusun kekuatan. Misalkan, kekuatan ekonomi yang kita punya.
Hasil yang selama ini dirasakan DMI, dengan bantuan modal usaha bagi pengusaha mikro, usaha yang mereka kembangkan sudah tampak hasilnya. Bantuan yang berupa pinjaman, mereka bisa mengembalikan dana tersebut dengan profesional. Ini bentuk keberhasilan dari segi mental bagi jamaah. Di samping itu, terbentuk rasa solidaritas sesama. Orang yang telah terbantu ekonominya suatu saat nanti dia juga akan membantu orang lain.
Sumber :
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/08/21/ntfd0l2-imam-addaruqutni-masjid-harus-jadi-penggerak-kehidupan